A. LANDASAN MORAL
Ajaran tentang perilaku baik menurut aturan yang berlaku
dalam masyarakat disebut moral. Setiap masyarakat memiliki ajaran moral sendiri
yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat. Moralitas itu tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ajaran moral suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya.
Kata moral berasal dari bahasa latin, mores yang berarti kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Moral adalah suatu aturan baik dan buruk suatu perbuatan
berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu moral
masyarakat mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat.
Kebiasaan dalam masyarakat berhubungan dengan norma
kesusilaan, kesopanan, dan kepatutan atau kepantasan perbuatan seseorang.
Orang memiliki perbuatan yang baik apabila dilakukan sesuai dengan norma-norma
tersebut. Setiap masyarakat tentu memiliki dan mengembangkan norma-norma yang
dijunjung tinggi seluruh anggota masyarakat tersebut. Orang bebas bergaul
dengan siapa saja yang disukainya, tetapi pergaulan bebas sehingga sepasang
laki-laki dan perempuan hidup serumah tanpa ada ikatan perkawinan akan
dikatakan melanggar norma kesusilaan. Seorang perempuan yang
memakai pakaian yang sangat minim ketika menemui tamu laki-laki, maka ia
dikatakan berpakaian tidak sopan dalam menerima tamu. Demikian pula ketika ada
seorang laik-laki berkunjung ke rumah perempuan yang bukan istrinya tanpa
ditemani orang lain maka perbuatannya dapat dikatakan tidak patut dilakukan. Norma-norma
yang dikembangkan di dalam masyarakat didasarkan pada adat istiadat,
kepercayaan dan agama.
Seiring dengan perubahan ilmu pengetahun dan teknologi
sehingga arus informasi dan telekomunikasi sangat cepat maka banyak perubahan
dalam masyarakat. Pada masyarakat perkotaan, norma-norma moral semakin longgar
sehingga suatu perbuatan seseorang dianggap sudah tidak lagi melanggar aturan
atau norma masyarakat. Berbeda dengan masyarakat perkotaan, pada masyarakat
pedesaan yang masih menjunjung tinggi norma moral maka perbuatan yang berlaku
di kota akan dikatakan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan norma yang
berlaku di dalam masyarakat pedesaan tersebut.
HAM juga dilandasi dengan sistem moral yang berlaku dalam
masyarakat. Pelanggaran HAM yang dilakukan seseorang atau kelompok akan
mempunyai sanksi moral. Pelanggar HAM tersebut akan merasa bersalah dan berdosa
sehingga dapat saja ia akan memperoleh sanksi moral. Sanksi moral diberikan
oleh agama dengan perasaan berdosa, dan diberikan oleh masyarakat dengan
dikucilkan oleh masyarakat.
B. LANDASAN SOSIO-KULTURAL
Kehidupan sosial dan kultural masyarakat dibangun dan
dikembangkan secara berkesinambungan. Masyarakat secara turun-temurun
mewariskan dan mengembangkan sistem pranata, norma, dan nilai-nilai budaya
kepada generasi berikutnya. Keseluruhan kehidupan masyarakat itu diwujudkan
dalam kebudayaan. Landasan sosio-kultural masyarakat pedesaan misalnya, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemasyarakatan dalam bentuk pranata sosial, kesusilaan, sopan
santun, hubungan kekerabatan dan lain sebagainya. Di dalam masyarakat pedesaan
ini suasana kehidupan masyarakat ditandai dengan paguyuban. Artinya hubungan
antara individu yang satu dengan lainnya bersifat saling kenal mengenal, akrab,
toleransi, gotong- royong, dan penuh kepedulian dengan lainnya. Interaksi
sosial sangat intensif dalam bentuk tatap muka yang penuh keakraban.
Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota
memiliki karakteristik interaksi sosial yang bersifat patembayan, sedangkan di
dalam masyarakat pedesaan bersifat paguyuban. Artinya, hubungan antarindividu
dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual.
Norma-norma yang dikembangkan berdasarkan hubungan saling menguntungkan secara
fisik finansial. Interaksi sosial dapat digantikan melalui hubungan tidak
langsung dengan teknologi sehingga tidak saling kenal mengenal. Misalnya,
ketika ada masalah bersama maka penyelesaiannya diukur dari partisipasi kontribusi
yang diberikan individu. Kegotongroyongan sudah digantikan dengan kontribusi
uang sehingga tatap muka antarindividu sudah digantikan dengan substitusi
lainnya.
Pemahaman tentang HAM sangat dipengaruhi oleh sistem sosial
budaya yang berlaku dalam masyarakat. Pada masyarakat pedesaan, HAM itu
dipahami sebatas tidak melanggar bahkan harus sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat dan kebudayaan. Untuk mewujudkan HAM di masyarakat perlu
memperhatikan:
1) sistem sosial yang
berlaku;
2) sistem nilai dan
norma dalam masyarakat dan kebudayaan;
3) sikap sosial dan budaya
individu;
4) sistem kepercayaan
yang dijunjung tinggi masyarakat dan kebudayaan;
5) pranata-pranata
sosial;
6) adat istiadat
suatu masyarakat.
HAM semata-mata tidak hanya didasarkan atas hukum dan undang-undang
saja tanpa memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Interpretasi hakim
yang hanya mengutamakan hukum dan undang-undang tanpa memperhatikan dinamika
dan kemajuan masyarakat yang semakin kritis, membuat putusan hukum yang diambil
hakim seringkali melanggar rasa keadilan masyarakat. Perlakuan diskriminatif
akan menimbulkan perasaan yang menyakitkan di kalangan masyarakat.
C. LANDASAN RELIGIUS
Masyarakat itu tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Van Peursen (1981) masyarakat tumbuh
melalui tiga tahap: mitis, ontologis, dan fungsional. Pada awalnya, masyarakat
tumbuh dalam tahap mitis. Pada tahap mitis ini, dikembangkan penyelesaian
masalah dengan menggunakan sistem kepercayaan, magi, dan mitos. Semua persoalan
kehidupan diselesaikan dengan pengetahuan tersebut. Namun demikian,
penyelesaian berdasarkan mitologi ini tidak memuaskan manusia.
Ketidakpuasan itu kemudian membuat manusia mencari penyelesaian dengan cara
lainnya, yaitu berpikir rasional. Berbekal kemampuan rasional, orang
berusaha memecahkan masalah itu. Melalui
rasio, manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dipikirkan.
Pemikiran rasional itu bersifat reflektif filosofis sehingga melahirkan
pemikiran ontologis. Pada tahap ontologis ini lahir pengetahuan filsafat.
Perkembangan masyarakat dan kehidupan yang sangat pesat membuat pemikiran
filsafat itu kurang memuaskan manusia. Manusia kemudian mengembangkan pemikiran
rasional yang terukur melalui tahap tertentu.
Pemikiran rasional yang dikembangkan melalui tahapan
tertentu itu melahirkan pemikiran ilmiah. Tahapan itu adalah:
1) pemikiran rasional
itu bersifat objektif empiris, artinya objek itu dipikirkan sejauh dapat
dialami oleh manusia.
2) menggunakan metode
ilmiah tertentu,
3) memiliki sistem
ilmiah,
4) kebenarannya
bersifat hipotetik, artinya kebenaran itu diukur dari bukti-bukti empiris yang
mendukungnya.
Metode
ilmiah yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut: 1) ada gejala tertentu yang selalu berulangkali terjadi, 2) di
dalam gejala itu terdapat permasalahan yang harus diatasi, 3) masalah itu
kemudian dicarikan penyelesaian teoritik di dalam kepustakaan yang ada,4) penyusunan
hipotetik yang harus dicarikan bukti-bukti yang ada, 5) pengumpulan data, 6) analisis
data; 7) hasil analisis data itu kemudian dipakai untuk menguji hipotesis, 8) hasil
uji hipotesis itu dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan umum. Kajian ilmiah
sekarang ini lebih banyak digunakan orang untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Kecenderungan penyelesaian masalah secara ilmiah itu membuat
penyelesaian masalah dengan cara lainnya lebih banyak diabaikan.
Pada akhirnya, penyelesaian secara ilmiah dengan ipteks itu
juga tidak dapat menyelesaikan segalanya. Bahkan, kehidupan manusia menjadi
semakin jauh dari kehidupan spiritual. Kehidupan semacam itu lepas dari
aspek-aspek spiritual sehingga menjadi “kering” dan rindu pada aspek-aspek
kerohanian yang dulu pernah dialaminya. Kehidupan spiritual; religius itu
kemudian dijadikan landasan untuk mengembangkan HAM. Sebagai anugerah Tuhan,
hak dasar manusia yang dibawa sejak lahir itu dijalankan sesuai dengan
nilai-nilai religius. Artinya HAM itu semakin meningkatkan keimanan dan
mendekatkan diri pada Tuhan. Harkat dan martabat manusia terletak pada
kedekatannya dengan Tuhan. Implementasi HAM yang bertentangan dengan
nilai-nilai ketuhanan akan semakin membuat manusia kehilangan jati diri sebagai
manusia.
Kebebasan dan HAM yang mengingkari adanya nilai-nilai
religius itu mengakibatkan manusia kebingungan dalam kehidupan. Sebab kehidupan
manusia itu terbatas, di seberang batas itu hanya dapat dipahami melalui
keimanan dan kepercayaan.
Bangsa Indonesia secara filosofis, sosiologis, maupun
religius mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa pra sejarah,
kepercayaan tersebut masih berupa animisme dan dinamisme. Kepercayaan animisme
merupakan kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan adikodrati yang ada pada
binatang dan makhluk lainnya. Di samping itu, masyarakat juga masih mempercayai
adanya kekuatan adikodrati pada roh leluhur yang masih menentukan kehidupannya.
Pada masa ini berkembang pula kepercayaan mitis dan magis di kalangan
masyarakat. Konsep ketuhanan pada masa mitologis pra sejarah tersebut belum
jelas, karena hanya menyebutnya sebagai suatu kekuatan adikodrati yang
mempengaruhi dan menentukan kehidupan manusia. Misalnya, sebagian masyarakat
pedesaan, apalagi di pedalaman, masih percaya dan melakukan upacara adat
memberikan sesaji pada roh leluhur agar terbebas dari segala bencana. Upacara
memberikan sesaji yang dilabuh di tengah lautan agar selamat dan banyak
mendapat ikan dari laut.
Kepercayaan adanya Tuhan baru memiliki konsep yang jelas
ketika datang agama-agama besar di Indonesia. Konsep Tuhan tersebut dipahami sebagai
Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat percaya (iman) dan sekaligus menaati
aturan-aturan yang dibawa di dalam ajaran agama tersebut. Namun tidak serta
merta kepercayaan dan perilaku terhadap nilai-nilai adikodrati yang lama tetapi
masih sesuai dengan agama, ditinggalkan sama sekali. Bahkan, kepercayaan lama
tersebut terintegrasi di dalam ajaran agama yang dianutnya. Kesemuanya
membentuk adat istiadat dan budaya religius dalam masyarakat.
Pemahaman tentang HAM juga sangat dipengaruhi oleh sistem
nilai religius. HAM yang bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran agama yang
dianut akan dipandang merendahkan derajat dan martabat manusia di hadapan
Tuhan, semesta alam, dan sesama manusia.
D. HUBUNGAN ANTARA HAM, KEBEBASAN DAN DEMOKRASI
Banyak orang memahami HAM secara sempit sebagai kebebasan
dan demokrasi. Kebebasan dan demokrasi hanya sebagian dari perwujudan HAM.
Semakin orang menghormati HAM maka ia akan menghargai kebebasan orang lain
sebab dalam melaksanakan kebebasannya, seseorang akan berhadapan dengan kebebasan
orang lain. Untuk mengatur interaksi orang yang satu dengan orang lainnya,
setiap orang harus menghormati kebebasan orang lain. Aturan untuk saling
menghormati kebebasan setiap individu diperlukan peraturan yang disepakati
bersama. Masalah-masalah yang dihadapi dalam interaksi bersama harus
diselesaikan dengan prinsip-prinsip yang disepakati bersama. Kesepakatan
bersama tersebut diatur di dalam demokrasi.
ada beberapa prinsip yang harus ada pada sistem demokrasi:
1.
Kedaulatan di tangan rakyat artinya rakyat berdaulat dalam mempengaruhi
jalannya negara. Kedaulatan dijalankan rakyat ketika memilih pemimpin atau
pemerintahan melalui pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil.
2.
pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah. Persetujuan
tersebut diberikan pada saat pemilu. Disamping itu, persetujuan juga diberikan
ketika semua kebijakan pemerintahan negara disetujui wakil-wakil rakyat di
parlemen (DPR dan DPRD).
3.
Kekuasaan dipegang mayoritas. Pemerintahan negara dilaksanakan oleh
penguasa yang mendapat mandat sebagian besar rakyat lewat pemilu.
4.
Hak-hak kaum minoritas dilindungi oleh hukum. Sebagian masyarakat kecil di
dalam suatu negara tidak boleh teraniaya tetapi justru dilindungi oleh hukum
karena hukum berlaku untuk semua orang secara adil dan merata. Misalnya hak
etnik tertentu yang jumlahnya sedikit harus tetap dilindungi.
5.
Jaminan hak asasi manusia. Jaminan tersebut dilakukan secara hukum dan
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
6.
Pemilihan yang bebas, jujur dan adil. Pergantian kekuasaan negara dilakukan
melalui pemilu dan seluruh rakyat berpartisipasi dalam pemilu tersebut. Hasil
pemilu memberikan legitimasi politik maupun hukum pada pemenang pemilu untuk
menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Pemilu tersebut dijalankan sesuai
dengan aturan hukum yang ditetapkan.
7.
Persamaan di depan hukum artinya tidak ada diskriminasi di dalam hukum.
8.
Proses hukum yang wajar artinya setiap orang yang berurusan dengan hukum harus
diperlakukan secara wajar dan bebas dari tindak kekerasan dan
kesewenang-wenangan hukum.
9.
Pembatasan pemerintah secara konstitusional. Pembatasan dilakukan agar
kekuasaan pemerintahan negara tidak otoriter dan melanggar kepentingan rakyat
banyak.
10.
Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik. Keanekaragaman masyarakat dalam
melakukan kegiatan ekonomi dan politik dilindungi dan dijamin tidak dilanggar.
Misalnya orang bebas berdagang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Perdagangan itu dilakukan baik di pasar tradisional, pertokoan, mall, maupun di
rumah. Di bidang politik, orang bebas menyampaikan aspirasi politiknya melalui
parpol, pemilu, dan mengkritisi pemerintahan.
11.
Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan mufakat. Perbedaan yang ada
pada setiap anggota masyarakat dihormati dan dihargai. Untuk kepentingan
bersama maka pemerintahan negara memberikan layanan publik yang bermanfaat bagi
hajat hidup orang banyak. Sekalipun berbeda-beda dalam berbagai aspek, tetapi
sebagai warga negara harus dapat hidup berdampingan secara damai dan bahkan
bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Persoalan yang timbul dalam
kehidupan bersama diselesaikan secara mufakat melalui musyawarah dan atau
pemungutan suara.
Dari berbagai prinsip demokrasi tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa hak asasi manusia sebagai asas yang sangat fundamental di dalam
sistem demokrasi. Masyarakat demokratis sangat menghormati hak asasi manusia
sebagai pribadi. Kesadaran menghormati HAM itu dinyatakan dalam perilaku
menaati hukum. Ketaatan hukum menunjukkan penghormatan kebebasan individu
sebagai warga negara.
Demokrasi adalah suatu pandangan hidup yang mencakup bidang
sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang memandang bahwa keputusan diambil
atas dasar kepentingan bersama, dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sebagai
pandangan hidup, demokrasi merupakan kegiatan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan melalui kontrol terhadap tingkah laku individu dan kelompok.
Secara politis, demokrasi dipahami sebagai sistem pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Ada dua elemen demokrasi yang ideal. Pertama, demokrasi
tidak ditentukan oleh jumlah dan bervariasinya minat sebagian masyarakat tetapi
kepercayaan sebagian besar masyarakat mengakui minat bersama sebagai kontrol
sosial. Kedua, demokrasi bukan hanya berarti interaksi sosial yang bebas,
tetapi terjadinya perubahan kebiasaan sosial dalam masyarakat (Dewey dalam
Fattah Hanurawan, 2006).
Demokrasi tidak hanya memuat tentang kebebasan tetapi juga
menghormati hukum dan HAM. Demokrasi tanpa hukum dan HAM akan membuat demokrasi
yang dikembangkan menjadi rapuh dan kebebasan mengarah kepada anarkhi.
Pendidikan HAM bagi anak akan menjamin perkembangannya secara optimal melalui
partisipasi dalam kehidupan kelompok. Efek pendidikan HAM selalu
memberikan perubahan kualitas anak sesuai dengan nilai yang berlaku dalam
kelompok. Perubahan itu berlangsung terus menerus menuju perbaikan yang semakin
menyempurnakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar